☕ Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 27 (Part 2)
Siang menjelang makan siang, suasana ruang makan guru di dapur pondok terasa hidup. Meja panjang penuh lauk sederhana ada sayur asem, tempe goreng, dan sambal. Beberapa guru baru saja pindah dari ruang guru setelah obrolan beberapa waktu lalu tentang Palestina Merdeka dan kisah tiga khalifah yang dikutip Imam Ath-Thabari yang belum selesai, kini, percakapan berlanjut..
Pak Wawan sambil menyendok sayur berkata, “Kalau sebelumnya kita berbincang tentang obrolan arsitektur di masa Al-Walid, kuliner di masa Sulaiman, dan amal shalih di masa Umar bin Abdul Aziz, sekarang saya bertanya pada antum semua nii, sebenarnya obrolan kita sehari-hari ini condong ke yang mana?”
“Maksud Pak Wawan bagaimana?” Tanya Ilham. “Apa tentang para khalifah tersebut atau hikmah yang bisa kita ambil dari perjalanan perbincangan para khalifah waktu lalu?” Lanjut ilham.
Mas Yusron menimpali sambil menyeruput teh panas, “kalu ttg khalifah sudah selesai tentunya too akhii, sekarang refleksi ke obrolan kita saja, apa tema temanya?…apa seputar gaji, sarpras yang kurang atau “work life balance” menurut persepsi kenyamanan kita….bukan work life balacenya seorang muharik? ups…mungkin yang terakhir nanti kita bincang tersendiri ya..
“Kalau kita jujur” lanjut mas Yusron kadang obrolan serius kita adalah ke hal-hal ringan, bahkan remeh mungkin. Padahal Imam Ath-Thabari sengaja membandingkan itu untuk menunjukkan arah hati masyarakat. Kalau obrolan masyarakat waktu itu bisa bergeser arah karena penguasa, obrolan kita para murobbi pun bisa jadi barometer arah tarbiyah.”
Ustadz Taufik menunduk sebentar, mencari statemen yang pas, lalu berkata, “Ikhwah fillah… Lisānukum asdaq mimmā fī qulūbikum — lidahmu adalah cermin paling jujur dari isi hatimu. Kalau obrolan kita lebih sering tentang tunjangan, gaji, atau keluhan sarpras… itu artinya hati kita condong ke situ. Kalau obrolan kita penuh dengan nasib umat, kondisi mutarabbi, atau implementasi maratibul amal tarbiyah kita… maka hati kita pun insyaallah ada di sana.”
Pak Rifa’i meletakkan sendoknya, wajahnya serius. “Mungkin ini saat kita perlu menata kembali topik obrolan kita. Menukil pesen pada buku Gumregah Tarbiyah, obrolan bukan hanya pengisi waktu, tapi pengungkap obsesi. Kalau kita sibuk bicara bisnis dan karier, serta meraih nikmatnya hidup, tapi enggan membicarakan rekrutmen dan pembinaan kader, itu tanda ada yang perlu dibenahi dalam hati.”
Ilham yang sejak tadi menikmati makan siang ikut bicara. “Saya jadi teringat apa yang dikatakan Ustadz Rahmat Abdullah yang pernah saya baca ‘Aku rindu zaman ketika halaqah adalah kebutuhan, bukan sekadar sambilan apalagi hiburan/ aku rindu ketika membina adalah kewajiban, bukan pilihan dan paksaan/ aku rindu ketika dauroh menjadi kebiasaan, bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan’ Jangan-jangan kitapun sudah mulai merasa halaqah sebagai ‘program’, bukan napas utama dakwah.”
Hening sejenak diruang makan siang itu. Hanya suara sendok dan piring yang sedang dicuci ibu dapur yang terdengar, dan teriakan santri diluar sana.
Ustadz Taufik melanjutkan , “Mari kita mulai dari sini, dari kita, Jadikan obrolan kita obrolan dakwah, bukan sekadar basa-basi. Karena sejarah sudah mengajarkan bahwa arah umat bisa dikenali dari arah obrolannya.”
Sebagain mengangguk dan sebagian menunduk . Ternyata bukan hanya Palestina yang sedang menanti arah sejarah, tapi juga tarbiyah kita sendiri, yang tercermin dari apa yang kita bicarakan setiap hari.
📜 Catatan Serambi
Obrolan adalah cermin jiwa dan kompas arah tarbiyah.
#LisānukumAsdaq
#ObrolanCerminanArah
#NgopiDiSerambiTarbiyah
#GumregahTarbiyah
