☕ Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 28
Udara pagi di kawasan perbukitan itu terasa sejuk. Hari Ahad, suasana liburan. Para guru dan murobbi sedang melaksanakan rihlah halaqah di pinggir sungai kecil yang airnya bening. Acara ini sdh direncanakan cukup lama.
Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.
Pak Wawan menyiapkan pembakar jagung dengan sigap meskipun usia sudah diatas 50, Ilham sibuk membuat kopi tubruk, sementara Mas Yusron memotret pemandangan sambil mengomel kecil,
“Rihlah tapi foto wajib, ini sunnah muakkadah ya, akhii…”
Semua tertawa. Santai. Hangat. Gayeng. Karena hati mereka hapy, apapun jadi hapy.
Setelah merasa cukup puas dengan mengeksplore alam sekitar, semua duduk melingkar, kopi teh dan snak di sajikan diatas tiker sederhana, suasana perlahan berubah tenang. Ustadz Taufik
, seperti biasa selalu menatap satu per satu wajah yang hadir, untuk melekatkan hati, lalu mulai berbicara dengan pelan
“ikhwanii fillah…”
Setelah kita bersyukur dan bersholawat, saya mengucapkan jazakumullahu Khoiron kepada antum semuanya telah hadir dan menyiapkan kegiatan kita ini..
Ia jeda sejenak.
“Beberapa pekan terakhir kita bicara soal tema obrolan kita—tentang apa yang memenuhi lisan kita. Dan alhamdulillah, banyak dari kita yang mulai memperbaiki arah percakapan. Tapi hari ini saya ingin mengangkat satu hal lain…”
Ia menghela napas pelan.
“Yaitu perasaan sibuk.”
Ilham refleks tertawa kecil, “Wah, ini saya kena duluan.”
Mas Yusron menepuk bahunya, “Tenang, akhi… antum bukan sendiri.”
Ustadz Taufik tersenyum
“Saya pun, jujur, kadang merasa begitu. Seolah-olah tugas saya penuh. Seolah weekend harus diamankan. Seolah waktu istirahat adalah hak mutlak yang tak boleh diganggu.”
Maka berat sebenarnya menyampaikan ini, namun kita belajar bersama” Lanjut ust Taufiq.
Suasana kembali hening, hanya suara aliran air sungai dan angin pegunungan yang menerpa pohon pohon..
Pak Rifa’i membuka suara, sedikit reflektif.
“Kadang saya berpikir, apa benar kita sesibuk itu, hingga halaqah, pembinaan, atau mendampingi mutarabbi mulai terasa berat?”
Ilham mengangguk pelan.
“Ada masanya saya merasa begitu, ustadz… seperti ingin berkata ‘Ana butuh work-life balance., sudah kerja satu pekan capek”
Mas Yusron menimpali cepat,
“Tapi definisi work-life balance-nya siapa akhii…? Definisi orang bekerja pada umumnya ataukah para muharrik dakwah? Karena kalau pakainya standar HRD perusahaan, bisa jadi iya… membina mutarabbi di hari libur akan dianggap mengganggu privacy time.”
Semua terdiam.
Lalu Ustadz Taufik sambil membuka catatan kecil dari sakunya. “Kita sih mestinya tidak abai juga tentang hal itu, namun bila ada hal penting mosok kekeh tidak mau..
Kemudian melanjutkan
“Saya membaca kembali bagian dari Gumregah Tarbiyah…”
‘Sesibuk apakah kita? Apakah kesibukan kita benar-benar melampaui kesibukan Rasulullah? Ataukah ia hanya ‘tikaman’ rasa sibuk saja?’
Pak Wawan spontan menunduk.
Mas Yusron menutup wajahnya sebentar.
Ustadz Taufik melanjutkan lagi, pelan dan kemudian menegang..
“Rasulullah memimpin 27 ghazwah, mempersiapkan 38 sariyyah. Dalam waktu 10 tahun… berarti dua sampai tiga event besar dalam setahun.”
Contoh kita kemaren ada event milad yayasan setahun sekali berapa besar efforts yang diberikan dan membuat kesibukan, ini beliau 2 sampai 3 dan itu event perang ikhwah..
“Dan di tengah semua itu,” lanjutnya,
“Beliau tetap mengajar, menerima tamu, menyelesaikan perselisihan, membina keluarga, bahkan bermain dengan anak-anak, ayat-ayat tentang Muamalah banyak pada periode Madinah ini”
Ilham berbisik lirih, “Astaghfirullah… bandingkan dengan saya yang kadang merasa halaqah dua jam saja sudah melelahkan.”
Pak Rifa’i menambahkan penguatan,
“Belum lagi contoh tentang para da’i setelahnya… seperti kisah Hasan Al-Banna yang dalam rentang 30 jam berpindah dari satu kota ke kota lain untuk berdakwah… dan tetap kembali bekerja paginya.”
Mas Yusron tersenyum pahit,
“Sementara kita? Kadang baru isi kajian dzuhur sekali saja rasanya ingin cuti dakwah sepekan.”
Semua tertawa, tetapi tawa itu terasa getir kawan…
Ustadz Taufik kembali menatap mereka,
“Ikhwah… saya percaya kita bukan malas. Kita hanya perlu mengingatkan diri sendiri, bahwa dakwah ini bukan mengganggu hidup kita. Ia justru inti hidup kita.”
Ia menutup dengan kalimat pelan dengan mengutip buku gumregah tarbiyah
‘Tak ada da’i yang tak sibuk. Jangan pernah mengira para pegiat dakwah dan murabbi adalah pengangguran’
Angin kembali berhembus. Daun jatuh perlahan ke sungai.
Beberapa wajah terlihat berkaca. Bukan karena marah. Tapi karena tersadar… bahwa beban selama ini bukan karena beratnya amanah, melainkan karena hati mulai longgar menggenggamnya.
