You are currently viewing Kita Kekurangan Penarik Beban
Serambi Tarbiyah

Kita Kekurangan Penarik Beban

Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 2

Malam itu serambi masjid kembali menjadi tempat halaqah rutin para karyawan ikhwan, setelah beberapa pertemuan di rumah-rumah bergantian, Angin timur yang dingin masih menyapu rawa-rawa yang belum tersentuh proyek. Aroma rumput liar dan air tanah mengambang di udara. Karpet masjid sudah digelar membentuk lingkaran. Gelas-gelas plastik berisi jahe panas, teh manis, dan air putih berjejer. Di tengah, nampan rotan berisi rebusan singkong, pisang kukus, dan kacang godhog menyambut obrolan hangat malam itu.

Ustadz Taufik membuka tanpa mukadimah panjang. “Ikhwan sekalian… kita berbicara malam ini bukan sebagai staf di sekolah kita. Tapi sebagai lelaki yang dipercayai untuk membina.”

Serambi Tarbiyah

Semua diam. Ada yang merapikan duduknya. Ada yang langsung menatap penuh tanya.

“Saya ingin mulai dengan satu kalimat yang membuat saya diam beberapa menit waktu membacanya…” Ustadz Taufik mengangkat buku baru oleh-oleh dari pertemuan di Solo, “Gumregah Tarbiyah”.

“Manusia seperti seratus unta, nyaris tak ada seekor pun yang bisa dijadikan tunggangan.”

“Hadis ini, ikhwan… keras. Tapi nyata. Artinya, banyak manusia manusia baik, tapi sedikit yang bisa dijadikan penarik beban perjuangan. Dalam istilah dakwah, sedikit yang siap jadi rahilah.”

Yusron—staf TU sekolah- menatap lurus. “Berarti kita sedang krisis?”

“Ya. Dan saya rasa antum semua sudah merasakannya.” Lanjut Ustadz Taufik

Pak Rifai -salah satu guru senior-mengangguk, “Di sekolah, banyak yang semangat kerja. Tapi begitu diajak duduk membina rekan rekan karyawan lain, Atau anak-anak didik yang mengajak mentoring, atau menjadi koordinator kebaikan… langsung mundur teratur.”

“Persis,” sahut Ilham. “Padahal kalau hanya kerja sesuai jobdesc, ya mesin juga bisa. Tapi membina itu bukan hanya kerja, itu dakwah.”

Ustadz Taufik melanjutkan, pelan tapi tegas.

“Kalau kita nggak bangun para rahilah, satu saat generasi kita habis. Lalu siapa yang akan mengarahkan para karyawan baru itu? Siapa yang mendampingi mereka dari awal nikah, dari awal jadi guru, dari awal kenal tarbiyah?”

“Nggak bisa hanya satu-dua orang,” Pak Wawan, Guru yang sangat senior dan hampir purna tugas ikut bicara. “Saya sendiri sering kewalahan. Satu orang mentoring empat kelompok. Belum masalah pribadi mereka. Kadang saya tanya diri sendiri, ‘Kalau saya wafat, siapa yang lanjutkan?’”

Sunyi sejenak. Hanya suara plastik ketela yang dikupas pelan.

Mas Yusron, menyimpulkan
“Berarti sekarang bukan sekadar kekurangan pembina… tapi kita kekurangan orang yang bisa “siap digerakkan.”

Ustadz Taufik mengangguk. “Dan kalau yang sedikit itu lemah, maka harus dilipatgandakan. Seperti ayat yang Allah turunkan: “Jika ada seratus orang sabar di antara kalian, mereka bisa mengalahkan dua ratus”.
Jadi kalau rahilah tinggal 1%, maka 1% ini harus naik kelas—bukan minta dikurangi bebannya, tapi memperkuat punggungnya.”

Baca juga : Cita-Cita dan Ekspansi

Pak Rifai tertawa lirih sambil garuk kaki karena digigit nyamuk. “Berarti kita-kita ini rahilah darurat, ya?”

“Bukan cuma darurat, Pak,” ujar Ustadz Taufik. “Antum semua dan kita semua di lingkaran ini adalah penarik beban yang sedang diuji. Bukan cuma diuji loyalitasnya, tapi juga keberanian menyiapkan pengganti. Karena rahilah sejati bukan yang kuat sendirian, tapi yang mampu melahirkan rahilah-rahilah baru.”

Mas Ilham menunduk. “Saya jadi merasa belum cukup layak, Ustadz. Kadang saya merasa sudah capek hanya mengurus mentoring satu-dua kelompok, belum lagi tugas sekolah, rumah tangga, dan beban pribadi.”

Ustadz Taufik menatap dengan lembut seakan mengusap kepala ilham dengan pandangannya. “Rasa itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa cukup mengalahkan rasa percaya. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Kita ini bukan sempurna. Tapi kita sedang diajak Allah jadi jalan penguatan untuk orang lain.”

Angin malam makin pelan. Beberapa bapak menepuk nyamuk yang nyamuk yang ngigit.

Pak Wawan menambahkan, “Saya dulu nggak tahu saya bisa sampai titik ini. Cuma calon pedagang batik yang tidak jadi dagang karena diminta untuk ngajar oleh pendiri yayasan waktu itu. Tapi ternyata yang Allah cari bukan yang siap 100%, tapi keberanian untuk duduk dan mendengarkan serta belajar, wong kadang orang cuma butuh teman bicara. Di situlah ruh tarbiyah tumbuh, bila kita tulus mendampingi”

Mas Yusron tersenyum, “Saya suka itu, Pak. Ruh tarbiyah bukan tumbuh dari ustadz-ustadz besar. Tapi dari keikhlasan kita mendampingi diam-diam.”

Ustadz Taufik menutup pembicaraan dengan satu kalimat tajam,

“Jika setiap dari kita hari ini sadar bahwa punggungnya sedang digunakan Allah untuk membawa beban umat… maka mulai malam ini, jangan tanya kapan istirahat. Tapi tanyakan siapa yang bisa kita ajak berjalan bersama?”

📌 Catatan Serambi:

“Rahilah bukan tentang bisa. Tapi tentang bersedia. Dan bila satu orang bersedia menguatkan sepuluh yang lain, maka satu itulah yang layak disebut penarik beban dakwah.”

🕊️ #SerambiTarbiyah | Darurat Rahilah, Amanah Kita

Tinggalkan Balasan