☕ Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 24 (Part 1)
Pagi itu suasana kantor guru mendadak riuh. Bukan karena rapat resmi, melainkan karena seorang guru membawa kabar mengejutkan. “Para ustadz… ingat anak yang dulu sering bolos dan sempat hampir dikeluarkan, si Azzam ?” tanyanya sambil menahan senyum.
Pak Rifa’i yang sedang mengoreksi buku catatan murid menoleh penasaran. “Anak yang mana? Yang dulu sering nangis kalau dimarahi dan rada kemlithi itu ya?”
Guru itu mengangguk. “Betul, yang itu. Sekarang… Masya Allah, dia yang jadi salah satu narasumber wawasan kebangsaan di acara nasional kemarin! Saya lihat videonya, pembawaannya mantap sekali., menyebut nama sekolah kita sebagai inspiratornya, di acara nasional, dalam analisisnya dan elegan supel dengan jenggot tipisnya dan itu ‘min atsari sujud nya’ nampak sedikit dibawah kopiyah hitamnya..
Ilham yang belum tahu sebelumnya tentang murid itu nyambung “yang menjaga tidak bersentuhan tangan ketika diajak salaman sama moderator cantik itu ya”..
Ruangan langsung riuh dengan komentar kagum. Pak Wawan yang duduk di pojok sambil menata buku-buku langsung berkata pelan, “Mungkin itu salah satu buah tarbiyah, kadang tidak terlihat saat kita menanamnya, tapi saat tumbuh… ia membuat hati kita sejuk.”
Percakapan itu menjadi pembuka refleksi pagi itu. Suasana kantor guru yang semula hanya dipenuhi aroma kopi hitam dan bunyi kipas angin perlahan berubah menjadi forum kecil yang hangat. Para guru saling berbagi cerita tentang murid-muridnya: ada yang dulu pemalu kini jadi ketua OSIS ketika di sekolah umum, ada yang dulu dianggap nakal kini rajin menjadi imam shalat di lingkungan nya.
Mas Yusron yang baru masuk membawa map laporan ikut nimbrung, “Kadang saya merasa membina itu seperti menggarap ladang batu. Berat sekali. Tapi mendengar cerita begini, rasanya… ada energi baru. Ternyata kerja kita tidak pernah sia-sia.”
Pak Rifa’i menutup bukunya, menarik napas panjang. “Saya jadi teringat perkataan murabbi saya dua puluh tahun lalu. Kata beliu, ‘Ketika bertemu antum, hilang semua rasa lelah saya.’ Waktu itu saya tidak paham maksudnya. Sekarang saya mengerti: ada kebahagiaan yang hanya Allah hadiahkan bagi orang yang sabar mendampingi.”
Ustadz Taufik, yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya bicara. “Ikhwah fillah… Kalau Rasulullah SAW saja pernah ditegur Allah saat bermuka masam kepada Abdullah bin Ummi Maktum, berarti betapa pentingnya menyambut setiap mutarabbi dengan hati. Kita tidak pernah tahu, mungkin anak yang kita sambut dengan senyuman hari ini, kelak akan jadi pemimpin umat.”
Semua terdiam. Kata-kata itu menusuk hati. Sejenak mereka membayangkan wajah-wajah murid dan mutarabbi yang selama ini mereka dampingi, yang suka membuat masalah, yang sulit diatur, yang datang dengan cerita hidup penuh luka.
Pak Wawan meraih satu toples kecil berisi keripik tempe, membukanya, lalu berkata dengan nada bercanda, “Mungkin yang kita butuhkan untuk terus bertahan ya ini… camilan dan cerita-cerita seperti tadi.”
Tawa kecil pecah, tapi tak ada yang menampik kebenaran kalimat itu. Kadang yang menjaga semangat para murobbi bukan hanya materi halaqah, tetapi kisah nyata bagaimana benih itu perlahan tumbuh.
📜 Catatan Serambi:
Menjadi murobbi sering terasa berat, bahkan kadang ingin menyerah. Namun, Allah selalu sisipkan pengingat melalui kabar-kabar kecil, anak yang dulu sulit kini jadi teladan, mutarabbi yang diam-diam tetap istiqamah, atau sahabat yang mengingatkan kembali makna dakwah. Semua itu bukan kebetulan, tapi hadiah dari Allah agar kita tetap teguh di jalan ini.
#KebahagiaanMembina
#BuahTarbiyahYangMenyejukkan
#NgopiDiSerambiTarbiyah
#MurobbiDanCeritaPerubahan