Selamat datang di bulan Sya’ban, bulan yang memiliki keutamaan yang besar. Posisinya yang berdekatan dengan Ramadan menjadikannya memiliki banyak keutamaan.
Dianjurkan banyak berpuasa
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Said bin Jubair, pada bulan ini Rasulullah ﷺ banyak berpuasa: ”Aku tidak melihat Rasulullah ﷺ berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadan dan tidak melihatnya lebih banyak melakukan puasa dari bulan Sya’ban.” (AlBukhari, 2/1868, babu shaumi sya’bana; Muslim, 3/1156, babu shiyami al-nabiyyi fi gairi ramadana).
Kesaksian Said bin Juber ini diperkuat oleh kesaksian Aisyah. Beliau berkata, “Nabi ﷺ tidak pernah berpuasa pada suatu bulan melebihi puasa pada bulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban” (Al-Bukhari, 3/1970, babu shaumi Sya’bana).
Dua hadits ini menunjukkan bahwa puasa sunah pada bulan Sya’ban merupakan ibadah yang paling banyak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dibandingkan dengan di bulan-bulan lain (Ibnu Hajar. (1379): 4/214). Oleh karena itu, seyogyanya kita memperbanyak ibadah puasa pada bulan ini sebagai persiapan untuk menunaikan ibadah puasa pada bulan Ramadan.
Bulan diangkatnya catatan amal manusia
Salah satu rahasia banyaknya ibadah yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ karena bulan ini merupakan periode tahunan diangkatnya catatan amal manusia ke langit. Rasulullah ﷺ menginginkan agar amalnya diangkat dalam keadaan berpuasa. Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, Rasulullah ﷺ bersabda, “Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadan, banyak orang yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat. Aku ingin agar ketika amalku diangkat, ketika itu aku sedang berpuasa.” (Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 3540; hadits hasan: Al-Munawi, Al-Taysir bi Syarhi Al-Jami Ash-Shaghir, 2/151)
Nishfu Sya’ban malam yang mulia
Malam Nishfu Sya’ban merupakan malam yang mulia karena Allah ﷻ memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya. Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah menampakkan (rahmat) kepada hamba-Nya di malam Nishfu Sya’ban. Dia mengampuni hamba-hamba-Nya, kecuali dua orang, yaitu: orang yang bermusuhan dan pembunuh. (Ahmad, 6642). Hadits ini diriwayatkan oleh banyak jalur yang saling menguatkan
sehingga dinyatakan sebagai hadits yang sahih. Dalam Riwayat lain, “Kecuali orang yang bermusuhan dan musyrik.” (Al-Albani, (1995): no. 1144). Pada malam ini, umat Islam secara umum dianjurkan untuk memperbanyak amal saleh yang bersifat mutlak seperti membaca AlQur’an, sedekah, berzikir, dan shalat malam.
Toleran menyikapi perbedaan pendapat tentang amalan nishfu sya’ban
Umat Islam sepantasnya bersikap lapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat para ulama tentang amalan Nishfu Sya’ban. Perbedaan pendapat tentang masalah ini sudah terjadi sejak masa tabi’in dan tabi’ at-tabi’in. Karena masalah ini menjadi perdebatan yang cukup serius, di bawah ini adalah perbedaan pendapat di antara para ulama salaf:
- Mayoritas ulama di Hijaz seperti Atha’ dan Ibnu Abi Malikah serta ulama fikih Madinah seperti Imam Malik menolaknya. Menurut Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, mereka menganggapnya sebagai perkara yang bidah. Hal ini juga merupakan pendapat Al-Auza’i dari Syam (Al-Azhar, (2007): 10/131). Alasannya karena tidak ada dalil yang bisa dijadikan pegangan tentang amalan di malam itu. Hadits-hadits yang menunjukkan keutamaannya lemah sehingga tidak bisa dijadikan sandaran. (Bin Baz, (tt.): 1/187).
- Sebaliknya, para ulama tabi’in lain di Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, dan Luqman bin ‘Amir mengatakan bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah, memakai wewangian dan berhias diri sangat dianjurkan. Ishaq bin Rahawaih mengatakan, “Ini bukan bidah.” Menurut mayoritas ahli fikih, menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah merupakan perkara sunah (nadeb). (Kuwait, (1427): 2/236). Menurut fatwa Dar al-Ifta Yordania (No. 2922), mayoritas ahli fikih dari empat mazhab menyatakan bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban adalah dianjurkan (mustahab) berdasarkan hadits tentang keutamaannya, seperti disebutkan di atas (Ahmad, 6642) yang oleh Ibn Hajar al-Haitsami para perawinya tsiqat (bisa dipercaya). As-Syafi’i dalam Al Umm mengatakan, ”Saya menganjurkan (untuk melakukan) setiap yang diceritakan pada malam ini (qiyam, doa, dan zikir).” (As-Syafi’i, (1990): 1/264). Ibn Najim dari Mazhab Hanafi mengatakan, ”Termasuk perkara yang sunah (al-mandubat) adalah menghidupkan sepuluh malam (terakhir) Ramadan, dua malam id, sepuluh malam (pertama) Zulhijah, dan malam Nishfu Sya’ban sebagaimana yang disebutkan oleh banyak hadits.” (Ibn Najim, (tt.): 2/56). Bahkan, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika seseorang melaksanakan shalat pada malam nishfu Sya’ban, baik sendiri maupun berjamaah, secara khusus sebagaimana yang dilakukan beberapa golongan salaf, itu lebih baik.” (Ibn Taymiah, (1987): 2/262). Seorang ulama salaf bernama Al-Fakihi (w. 272 H.) menceritakan kebiasaan penduduk Makkah pada masa lalu berkenaan dengan Nishfu Sya’ban. Menurutnya, mereka biasa mengkhatamkan tilawah Al-Qur’an dan shalat 100 rakaat pada malam itu. Al-Fakihi membahas persoalan ini dengan judul: “Tentang amalan penduduk Makkah pada malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka dalam beribadah karena keutamaan malam tersebut”. Al-Fakihi mengatakan, ”Penduduk Makkah dari dulu sampai hari ini [masa Al-Fakihi], jika datang malam Nishfu Sya’ban, kebanyakan laki-laki dan perempuan memasuki Masjidilharam. Mereka melaksanakan shalat, thawaf, dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dan shalat. Di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlas sepuluh kali. Lalu, mereka mengambil air zam zam, meminumnya, mandi, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya. Semua itu dilakukan dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut.” (AlFakihi, (2004): 3/84).
Oleh karena itu, amalan malam Nishfu Sya’ban merupakan persoalan furuk yang diperdebatkan oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Persoalan seperti ini harus disikapi dengan toleransi. Kita berusaha mendapatkan pandangan yang kuat (rajih), tetapi tidak menganggap pendapat lain sebagai bidah, apalagi mencegahnya dengan tangan. Sufyan Tsauri berkata, “Jika melihat seorang melakukan perbuatan yang diperselisihkan, sementara engkau punya pendapat lain, janganlah mencegahnya.” (Abu Naim, (1974): 3/133).
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan berkata, ”Para ahli fatwa sering berbeda pendapat, yang satu menghalalkan sementara yang lain mengharamkannya. Akan tetapi, mufti yang mengharamkan tidak menganggap ulama yang menghalalkan telah binasa karena pendapatnya. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap ulama yang mengharamkan telah binasa karena fatwanya.” (Ibn Abdil Bar, (1994): 2/161)
Demikian, semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada kita pada bulan Rajab dan Sya’ban serta menyampaikan kita semuanya hingga memasuki bulan Ramadan.
Ditulis ulang dari tulisan DR. KH, Surahman Hidayat, MA (pengasuh Majelis Yasaluunaka)