﷽
Idul Adha yang berbeda
‘Idul Adha tahun ini kita jalani dengan kondisi yang relatif sama dari tahun kemarin. Sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Pandemi yang masih ada membuat pemerintah menyerukan gerakan shalat ‘Id di rumah sehingga banyak masjid yang tidak menyelenggarakan sholat ‘Idul Adha untuk keselamatan bersama, sekaligus bertujuan untuk menekan laju penularan virus Covid-19. Walaupun begitu, beberapa masjid di daerah yang sudah masuk kategori aman/zona hijau membuka akses untuk menyelenggarakan shalat ‘Id berjamaah. Di manapun ibadah sunnah shalat ‘Id itu terlaksana, hendaknya semangat pengorbanan luar biasa sepasang anak dan ayah tetap menjadi sumber hikmah sejati yang tak lekang oleh waktu.
Yang tersisa dari kurban kita kemarin
‘Idul Adha atau yang dikenal dengan Hari Raya Haji merupakan hari raya umat Islam yang jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Momen ‘Idul Adha tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa yang menimpa keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Peristiwa itu tercantum dalam Quran Surah Ash-Saffat ayat 100-103.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Siti Hajar, isterinya, melewati waktu yang sangat panjang untuk kehadiran buah hati mereka. Mereka tak henti meminta kepada Allah agar diberikan keturunan yang dapat melanjutkan misi dakwahnya. Kemudian datanglah malaikat yang membawa kabar gembira bahwa mereka akan dikaruniai seorang putra yang cerdas lagi sabar, yaitu Nabi Ismail AS.
Menginjak usia remaja Nabi Isma’il ‘alaihissalam tumbuh menjadi anak yang shalih. Saat itu ayahnya, yaitu nabi Ibrahim AS mendapatkan perintah dari Allah Swt. melalui mimpi untuk menyembelih putra semata wayang, yaitu dirinya. Itulah ujian ketaatan nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah ﷻ, sebagai bukti cinta kepada Rabbnya. Momen itu diabadikan dalam Q.S. Ash-Shaaffat 102, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim ‘alaihissalam berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,”
Dialog di atas menggambarkan betapa bijaknya sikap seorang ayah ketika mendapatkan ‘tugas besar’ dari Allah Yang Maha Kuasa. Sang ayah tak lantas mengayunkan sebilah pisau ke leher sang putera, namun ‘mendiskusikan’ terlebih dulu bagaimana sebaiknya? Nabi Ibrahim ‘alaihissalam melakukan sekaligus mencontohkan apa yang disebut dengan prophetic parenting strategy—strategi pengasuhan ala Nabi yang semestinya diteladani oleh para orangtua untuk mau mendengarkan ‘suara’ anak dalam memutuskan segala hal baik yang terkait dengan penghidupan maupun masa depan anak.
Teladan yang diberikan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terhadap anaknya melalui sikap terbuka dan mau berdiskusi, membuahkan jiwa anak yang tulus ikhlas dan pemberani. Ketaatan pun terlihat dari jawaban Nabi Ismail ‘alaihissalam. Sikap yang diambil oleh Nabi Ismail ‘alaihissalam mencerminkan sikap seorang yang sabar serta percaya bahwa mimpi tersebut merupakan kebenaran yang datang dari Allah ﷻ, dan semua perintah yang datang dari Allah ﷻ harus dilaksanakan.
Berkat keikhlasan dan kecintaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pada Allah ﷻ, Allah ﷻ pun ridha. Sungguh, Allah ﷻ tidak benar-benar memperkenankan prosesi penyembelihan itu. Allah ﷻ hanya menjadikan Ismail sebagai ‘ujian’ ketaatan Nabi Ibrahim padanya sebagai bukti pengorbanan, keikhlasan, sekaligus pengingat bahwa anak hanyalah titipan, Ibrahim pun akhirnya lulus ujian.
Perintah yang hadir melalui mimpi itu telah sanggup ia tunaikan. Sebagai hadiah lulus ujian ketaatan tersebut, Allah ﷻ pun mengganti Ismail ‘alaihissalam dengan dzibhin ‘adzhim—sembelihan (kambing kibas) besar. Melalui perinstiwa inilah, Allah ﷻ memberikan isyarat perintah berkurban untuk seluruh umat Islam yang sebisa mungkin diupayakan. “Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Q.S.Ash-Shaaffaat 105-107).
Hikmah berkurban
Melalui peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi Ismail ‘alaihissalam, terdapat tiga poin utama yang dapat dijadikan khikmah untuk dapat menciptakan spirit idul adha.
- Yang pertama disingkat dengan 3I+1S. I yang pertama adalah iman. Iman bisa dikuatkan dengan cara melaksanakan perintah Allah Swt. I yang kedua adalah ikhlas, yang berarti ikhlas dengan hubungan kita kepada Allah. Dengan begitu, kita akan terhindar dari sifat riya atau pamer. I yang ketiga adalah ilmu, karena dengan terus mencari ilmu maka hidup kita serta ibadah kita dapat bernilai. Sedangkan S adalah sabar.
- Poin kedua adalah cinta orang tua kepada anaknya, serta hormatnya anak kepada orang tua. Terbentuknya sikap baik dari Nabi Ismail ‘alaihissalam tidak luput dari peran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Siti Hajar sebagai orang tuanya. Sedangkan yang bisa membalas cinta orang tua kepada anaknya adalah birrul walidain. Doa orang tua adalah doa yang mustajab, “Akan datang suatu masa di mana mulut kita dikunci, tangan kaki menjadi saksi”. Artinya sikap kita kepada orang tua pun akan diperlihatkan di hari akhir, dan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karenanya kita perlu menghormati mereka dengan membahagiakan mereka selagi masih bersama kita, dan doakan beliau, serta jaga lah cucunya kelak.
- Point terakhir adalah membangun keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Melalui Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kita dapat melihat satu keluarga yang saling asah, asih, dan asuh.
Semangat Idul Adha tak hanya di bulan Dzulhijjah saja
Setiap kita adalah Ibrahim. Setiap Ibrahim pasti memiliki Ismail. Ismail yang kita miliki bisa berupa harta, jabatan, keluarga, prestasi, seseorang yang paling engkau sayangi, bahkan sesuatu yang sangat engkau pertahankan di dunia ini. Maka sebenarnya, yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kala itu bukanlah putranya, melainkan rasa kepemilikannya terhadap Nabi Ismail ‘alaihissalam. Segala sesuatu yang kita miliki di dunia hanyalah titipan dari Allah, maka kita perlu belajar untuk ikhlas ketika semua harus kembali kepada pemiliknya serta menjaganya dengan baik selagi masih dititipkan kepada kita.
Karenanya, ‘Idul Adha sejatinya mengajarkan kita semua untuk mengabaikan sejenak keinginan-keinginan duniawi yang tiada habisnya. Hasrat diri ingin membeli ini-itu tanpa pertimbangan, mengutamakan perilaku konsumtif yang semua itu adalah sebagian sifat dasar manusia yang selalu punya banyak keinginan dan tak pernah habis untuk dipuaskan; saat inilah, momen yang tepat untuk mengikis segala hawa nafsu itu dan belajar mengorbankan ‘Ismail’ yang kita punya.
“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’a Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (Ash-Shaaffaat : 108-110)
Nabi Ibrahim dan Ismail, sepasang ayah-anak yang banyak memberikan kita keteladanan, selain sebagai peletak dasar pondasi Ka’bah, peristiwa sakral sa’i dalam rangkaian ritual haji maupun keikhlasan untuk mau berkurban, membuat Ibrahim menjadi sosok ayah yang selalu menjadi pujian.
Namanya selalu kita doakan dalam lafadz tahiyat akhir dalam shalat. Salam, kesejahteraanlah untukmu, Nabi Ibrahim. Darimu telahir banyak nabi utusan Allah. Darimu pula kami belajar bahwa dengan tulus ikhlas berkurban, maka Allah ﷻ selalu dan selamanya akan memberi balasan.
Demikianlah, setiap niat dan pengorbanan yang baik, selalu diganti dengan balasan yang jauh lebih baik. Mari, kita belajar menjadikan momentum Idul Adha ini untuk mau bersedia, tulus-ikhlas mengurbankan Ismail-Ismail yang kita miliki; karena berharap ridha Allah semata.
(SA-)