☕ Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 23
Sore menjelang maghrib, langit pekalongan bersih dan angin terasa lembut menyusup ke sela dedaunan. Halaqah pekan itu sengaja mengambil 𝘸𝘦𝘦𝘬 𝘦𝘯𝘥 di sabtu sore dimulai selepas asyar. Di Ruang tamu rumah Pak Wawan terjadwal halaqoh pekanannya— ruang yang hangat dengan ornamen kayu tua dan rak buku di salah satu sisinya.
Pak Rifa’i duduk paling dekat jendela, sementara Mas Yusron, Ilham, dan Ustadz Taufik duduk melingkar. Di tengah ada nampan berisi gelas teh poci dan camilan singkong goreng yang masih mengepul, serta keripik tempe.
Ustadz Taufik setelah kalimat usrah, melanjutkan dengan bertanya,
“Antum tahu apakah kata pertama dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW?”
Serempak mereka menjawab, “Iqra’…”
“Ya,” Ustadz Taufik mengangguk, “dan dari satu kata itulah ikhwah…peradaban Islam dibuka. Dan dari satu kata itulah, dunia berubah.”
Pak Rifai menimpali, “Iqra’ bukan sekadar perintah membaca huruf. Tapi membaca realitas, membaca sejarah, membaca manusia, membaca diri. Bahkan membaca tanda-tanda zaman.”
Ilham menatap sekeliling rak buku. “Jadi malu rasanya, ustadz… ketika budaya membaca mulai tergantikan scrolling.”
Mas Yusron mengangguk. “Dulu kita punya semangat library-minded, setiap kita minimal punya perpustakaan pribadi atau keluarga…sekarang malah mungkin gak kepikiran itu lagi..cukup browsing”
Pak Wawan tertawa kecil, “medsos lama seperti fb dan yutube juga sudah lengkap..ada reels nya juga..yang membuat kita sering terjebak, waktu habis buat scroll ”
Namun suasana segera kembali serius. Pak Rifai mengambil selembar catatan dari buku catatanya. “Tahukah antum, Dalam sejarah peradaban, ada masa-masa ketika ruh keilmuan muncul dari hati yang bersih dan jiwa yang dibina. Pada abad ke-12, Imam Al-Ghazali menulis karya besar Ihya Ulumuddin, bukan hanya sebagai kitab adab dan tasawuf, tetapi juga sebagai pedoman tarbiyah ruhani. Dari sinilah, cahaya itu menyebar. Bukan hanya ke Timur, tetapi hingga Eropa. Bahkan dalam catatan sejarah, oleh W. Montgomery Watt bahwa karya filusif islam dalam hal ini termasuk pemikiran Al-Ghazali menjadi salah satu pilar awal perdebatan skolastik yang melahirkan era Renaisans”
Semua terdiam. Aura sejarah itu terasa hidup.
“Dari sebuah halaqah ilmu… lahirlah perubahan besar,” gumam Ilham.
Ustadz Taufik melanjutkan.
“Kita sekarang sedang diberi wasilah yang sama. Tapi, apakah kita sudah punya semangat yang sama? Apakah halaqah kita hari ini punya ruh kebangkitan seperti halaqoh keilmuan dulu?”
Mas Yusron menjawab pelan, “Kadang kita tidak sempat menyusun agenda pekanan, lupa juga menyusun agenda kebangkitan…”
Pak Wawan meraih tas kecilnya dan mengeluarkan satu buku. “Kebangkitan dakwah tak bisa bertumpu hanya pada semangat… Ia harus bertumpu pada ilmu. Dan ilmu itu, bukan sekadar materi ta’lim pekanan. Tapi harus ada tradisi baca. Ada semangat iqra’ yang mengakar.”
“Lantas bagaimana cara membangkitkannya, Ust?” tanya Ilham serius.
Ust Taufik menatap satu per satu, lalu menjawab tegas,
“Dimulai dari murobbi. Kalau para murobbi tidak membaca, tidak mengisi diri dengan ilmu ideologis, buku pergerakan, jangan heran kalau halaqah hanya berisi kultum motivasi. Bukan peradaban.”
“Masya Allahu…” bisik Mas Yusron. “Jadi selama ini… yang tumpul bukan saja semangat mutarabbi, tapi mungkin juga ruh keilmuan kita sendiri.”
Ustadz Taufik mengangguk.
“Betul ikhawah…. Kita para murobbi, juga harus menjadi murid dari buku-buku sejarah, pemikiran Islam, dan tafsir perjuangan. Kita harus membaca sebelum membina, belajar sebelum mentarbiyah, mengisi diri sendiri sebelum mengisi orang lain.”
Ilham menyambung, “Mungkin inilah ‘rahim tarbiyah’ yang dimaksud bahwa Kelahiran kader dakwah bukan dari teriakan… tapi dari ilmu yang diserap perlahan dalam halaqah serta tajribah dalam amal.”
Pak Wawan tersenyum, lalu berkata, “Dan kita tak bisa mengandalkan IG reelsn, FB Reels.. yotub reels..”
Semua tertawa. Tawa kecut pengakuan dan sekaligus reflektif.
Ustadz Taufik lalu menutup dengan kalimat
“Jika para murabbi hari ini tidak bersungguh-sungguh menyalakan obor ilmu, maka kita akan kehilangan arah. Dan kader kita akan tersesat di tikungan zaman.”
Adzan maghrib pun berkumandang.
Dalam hati para murobbi itu, ada kumandang lain yang menguat:
“Iqra’. Bacalah. Bangun kembali peradabanmu.”
—
📚 Catatan Serambi:
“Iqra’ bukan hanya milik Rasulullah. Tapi juga warisan bagi setiap murobbi. Maka mulailah dari membaca. Dari buku yang tertumpuk di rakmu. Dari halaqah yang kau pandu. Dari waktumu yang tersisa. Bangkitkan ruh kebangkitan itu. Karena ia tidak turun dari langit. Ia lahir dari ilmu… dan murobbi yang tak pernah berhenti membaca.”
#BudayakanKembaliMembacaBuku
#BukaBukuYangMasihDalamSegelPlastik