☕ Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 22 (Part 1)
Hari itu halaman sekolah riuh. Merah putih bergelombang di antara dekorasi bambu dan kain batik. Tenda-tenda kecil berjejer, masing-masing diisi kreativitas siswa dari berbagai jenjang. Ada yang memamerkan miniatur masjid, ada yang menjajakan jajanan tradisional, dan ada pula booth “Jejak Tokoh Islam dalam Kemerdekaan”.
Namun, yang menarik bukan hanya pamerannya — tapi siapa yang menjaga dan mendampinginya.
“Bu Yuni,” sapa Pak Rifa’i dengan ramah, “anti dulu ngajar di sekolah umum ya?”
Bu Yuni, guru IPS yang kini mengenakan hijab segi empat lebar sederhana, tersenyum. “Iya, Pak. Dulu malah sempat agak sinis sama kata-kata ‘halaqoh, ikhwan, akhwat…. Tapi lama-lama… saya belajar.”
Mas Yusron yang mendampingi anak-anak kelas 8 di booth pahlawan nasional ikut tertawa mendengar statemen Bu Yuni. “kita tahunya di sini hanya ngajarin siswa, tapi ternyata… Allah kasih kita proses belajar juga lewat sekolah ini.”
Baca juga : Mengapa Islamic Boarding School di Indonesia Semakin Diminati? Ini Alasannya
Di pojok taman sekolah, Pak Wawan duduk mendampingi siswa yang membuat puisi kemerdekaan. Seorang wali murid yang hadir di acara tersebut mendekat dan berbisik, “Pak, ustadz, anak saya dulu suka ngomel-ngomel di rumah. Sekarang mulai berubah, kadang ngajak sholat jamaah bareng. Kok bisa ya?”
Pak Wawan tersenyum lebar. “Itulah karunia dari lingkungan yang niatnya bukan hanya mencerdaskan, tapi juga menyelamatkan.”
Pameran masih berlangsung, beberapa guru berkumpul di ruang terbuka. Di pojok, halaqah kecil terbentuk tanpa direncanakan. Ilham menyuguhkan teh hangat, lalu duduk di antara Pak Rifa’i dan Ustadz Taufik.
“Ustadz, saya jujur,” katanya, “dulu sempat kaget pas awal gabung. Banyak aturan. Bahasa tubuh harus dijaga, harus ikut halaqoh, sholat jamaah, pakaian syar’i, berjenggot meski tipis, suara harus lembut, bahkan menegur siswa pun ada adabnya., dan hi..hi..hi..gak boleh rokok ”
Pak Rifa’i mengangguk, “Saya juga, Mas Ilham. Tapi justru di situlah tarbiyah itu bekerja. Bukan cuma ke siswa, tapi juga ke kita para guru dan juga karyawan lain.”
Ustadz Taufik menghela napas, memandang halaman sekolah yang masih ramai dan meriah.
Baca juga : Awalnya Keprihatinan, Berakhir dengan Perubahan
“Kita semua datang dari latar yang berbeda. Ada yang sebelumnya di sekolah atau Perguruan tinggi umum, ada yang dari kultur agama yang bermacam-macam, bahkan ada yang baru belajar Islam lebih serius ketika di sini. Tapi kita berkumpul di bawah atap yang sama ‘pendidikan Islam’.”
“Dan pengajaran Islam itu bukan hanya kurikulum,” lanjutnya. “Tapi juga cara makan, cara berfikir, termasuk pula cara berpenampilan, dan tentu orientasi hidup”
Mas Yusron menimpali, “namun ada juga yang tidak tahan, ya ustadz. Beberapa guru dulu… akhirnya resign.”
“Ya,” jawab Pak Wawan. “Karena tarbiyah itu bukan sekadar sistem. Tapi ruh. Dan tidak semua orang siap dibentuk. Namun toh demikian semoga celupan kita membekas baik pada mereka, Dan bagi yang bertahan, mereka tidak hanya berubah… tapi bertumbuh.
📜 Catatan Serambi:
Lingkungan pendidikan Islam sejati tidak hanya mengubah siswa, tapi juga mendewasakan para guru. Di sanalah ruh tarbiyah bekerja — pelan tapi mendalam, mengubah bukan hanya perilaku, tapi orientasi hidup. Tak semua bisa bertahan, tapi mereka yang bertahan akan menjadi pohon-pohon rindang yang meneduhi banyak jiwa.
#SekolahAdalahLadangTarbiyah
#NgopiDiSerambiTarbiyah
#PendidikanYangMenyelamatkan
#BersamaMenjadiLebihBaik
#TarbiyahUntukSemua
