Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 15
Angin malam menyusup lembut dari sela-sela jendela kayu rumah Pak Wawan. Halaqah malam ini berlangsung di ruang tamu yang sederhana, namun terasa lapang. Lesehan. Meja bundar di tengah ruangan berisi dua termos air hangat, satu toples kecil berisi rengginang, dan satu toples keripik tahu, Ada pula mushaf dan buku catatan halaqoh milik pak Wawan.
Ustadz Taufik duduk bersila seperti biasa, di sebelahnya Pak Rifa’i dan Mas Yusron serta mas Ilham sementara Pak wawan menyandarkan punggung ke rak buku.
Suasana tidak beda dengan halaqoh-halaqoh sebelum nya, santai, dan berukhuwwah.juga tidak formal. Tapi justru karena itulah, percakapan terasa lebih hidup. Lebih menukik ke dalam hati dan pikiran.
Ustadz Taufik memulai dengan suara pelan , “Ikhwatii fillah… tadi pagi saya membaca kembali kisah dalam Gumregah Tarbiyah. Tentang Wahsyi…dihubungkan dengan luka pembinaan…”

Ia menoleh perlahan ke semua yang hadir. “Kita semua pernah terluka, pun dalam tarbiyah kita, mungkin sebagai mutarabbi, atau bahkan sebagai murobbi. Tapi luka itu… tidak sebanding dengan luka Wahsyi.”
Mas Yusron mengangguk. “Ustadz saya sempat membaca kisahnya. Ia membunuh Hamzah, lalu ingin dimaafkan, bahkan ikut berjihad membunuh Musailamah si pendusta. Tapi tetap… Nabi tidak mau menatap wajahnya.”
Baca juga : Renungan di Bawah Kristal dan Waktu Sebelum Subuh
“Bayangkan oleh antum sekalian” lanjut Ustadz Taufik, “seorang muallaf, ingin bertobat, ingin dekat dengan Rasulullah ﷺ, tapi harus menerima kenyataan, bahwa beliau Nabi tak ingin lagi melihat wajahnya. Itu luka paling dalam dalam pembinaan, semestinya. Tapi Wahsyi… tidak lari. Ia tetap berjuang. Ia tidak menanggalkan Islamnya.”
Pak Rifa’i yang sejak tadi diam, bersuara lirih, “Jadi sebenarnya… bukan lukanya yang jadi soal… tapi bagaimana ia memaknainya, ya Ustadz?”
“Na’am akhii..,” jawab Ustadz Taufik cepat. “Seperti yang ditulis dalam buku itu pula ‘Jika merasakan ada luka pembinaan, hendaknya dijadikan energi untuk berproses menjadi lebih baik lagi. Seperti Wahsyi.’”
Pak Wawan mendongak, “Berarti luka tak harus disembuhkan, tapi ditumbuhkan jadi kekuatan? Caranya? ”
“Bukan sekadar disembuhkan. Tapi dikonversi menjadi bara jihad,” sahut Mas Yusron penuh semangat.
Ustadz Taufik menimpali, “Antum tahu… banyak yang mundur dari tarbiyah bukan karena masalah pemahaman, tapi karena hati yang retak. Hanya karena ditegur, karena tidak dianggap, atau tidak diajak dalam forum. Luka kecil… tapi membesar karena tidak ada makna di baliknya.”
Baca juga : Satu Abu Ubaidah di Tengah Dunia yang Berubah
Pak Rifa’i menoleh, “Tapi Ustadz, bagaimana jika kita yang jadi Wahsyi… sudah salah, sudah luka, tapi juga tak mendapat maaf?”
“Wahsyi tidak menunggu dimaafkan, ikhwah..,” jawab Ustadz Taufik. “Ia tetap menebus. Ia tetap berbuat. Bahkan dengan tombak yang sama, ia membunuh orang yang paling dibenci Nabi ﷺ, setelah sebelumnya ia membunuh orang yang paling beliau cintai. Ia paham… sebaik-baiknya penyesalan adalah pembuktian dalam perjuangan.”
Sunyi sebentar. Yang terdengar hanya bunyi motor di jalanan depan rumah, dan gesekan tikar ketika Pak Wawan menggeser duduknya.
“Jadi,” kata Pak Wawan pelan, “jika ada murobbi yang merasa tidak dihargai oleh mutarabbinya… atau mutarabbi yang merasa disakiti murobbi… maka pelajaran dari Wahsyi cukuplah….jangan menunggu pelukan. Cukup lanjutkan perjuangan.”
Ustadz Taufik tersenyum. “Masya Allah antum benar, akhii. Karena luka bukan alasan untuk mundur. Tapi bahan bakar untuk bertahan. Maka, mari kita niatkan kembali ‘bukan soal siapa yang melukai, tapi bagaimana kita menyembuhkan dengan amal shalih.”
📌 Catatan Serambi:
Tarbiyah bukan tempat bagi hati yang mudah rapuh. Tapi juga bukan medan bagi mereka yang tak mau memperbaiki diri. Wahsyi bukan murobbi, tapi ia mujahid yang akhirnya menutup luka dengan jihad. Maka, kita yang murobbi, tetaplah lebih kuat, lebih istiqamah, lebih siap menanggung luka… dan tetap melaju
#AsatidzTidakMenggururi
#BelajarHikmahDariWahsyi
#GimregahTarbiyah