☕ Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 6, Part 2
Malam itu, bukan di serambi masjid atau di rumah salah satu peserta, Halaqah para karyawan sekolah pindah lokasi ke gazebo di taman kecil pesantren, di salah satu sisi gazebo masih ada tulisan bekas pembelajaran santri siang tadi. Sinar lampu cukup terang dan suasana terasa lebih hangat karena suara santri bercanda dengan santri lain masih terdengar dan sesekali i’lan dari speaker pesantren cukup keras mengiringi obrolan lanjutan.
Pak Rifai duduk bersebelahan dengan Ilham. Meski senior namun tak menghalangi kedekatan di antara mereka, ia cepat menyatu. Ustadz Taufik membuka diskusi dengan senyum khasnya.
“Ikhwah,” katanya lembut, “malam ini kita sambung lagi pelajaran dari peringatan Maulid Nabi. Tapi kali ini saya ingin antum melihatnya bukan sebagai agenda seremonial, tapi sebagai panggilan ruh untuk menghidupkan kembali jalan risalah.”

Mas Yusron mengangguk sambil memegang bolpen dan buku catatan, melempar tanya “Nabi itu dikenang bukan hanya kelahirannya… tapi dimuliakan karena jalan hidupnya, demikian nggih, tadz?”
“Betul,” jawab Ustadz Taufik. “Dan dari peringatan maulid ini, ada satu pesan yang sangat kuat ‘bahwa Nabi SAW lahir bukan dalam keadaan terang dan menang, tapi justru pada masyarakat yang kegelapan jahiliyahnya pekat’. Dan dari situlah, Allah mengangkatnya, membersihkannya, dan menuntunnya untuk menerangi dunia.”
Pak Rifai menimpali dengan suara berat namun hangat, “Berarti tugas kita hari ini bukan hanya meneruskan tradisi, tapi juga meneruskan misi, ya, Ustadz? Apalagi di tengah kondisi umat yang bingung membedakan mana gelap mana cahaya karena banjirnya informasi.”
Ustadz Taufik mengangguk, lalu membuka mushaf kecil dari sakunya, memperbaiki posisi kaca mata plus nya dan membacakan:
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang sebelum mereka berkuasa…” (Q.S. An-Nur: 55).
“Janji ini, ikhwan, bukan turun begitu saja. Ia turun untuk orang-orang yang sabar dalam perjuangan. Dan perjuangan itu panjang. Kadang dicaci, kadang ditolak, kadang bahkan ditinggal sahabat sendiri. Tapi Nabi tetap melangkah… hingga Islam menyinari dunia.”
Suasana hening. Hanya suara beberapa santri dari kejauhan terdengar.
Ilham menarik napas dalam, “Kadang saya malu ustadz… kita ini ingin cepat hasilnya. Padahal jalan Nabi sangat panjang… bahkan penuh derita.”
Ustadz Taufik tersenyum tipis menunjukkan perhatian. “Itulah kenapa kita perlu menghidupkan maulid dengan semangat. Tidak cukup membaca sirahnya, tapi menelusuri jejak beliau ‘bahwa hidup bersama risalah adalah hidup yang dijaga oleh Allah, namun bukan berarti hidup yang nyaman tanpa ujian.”
Pak Wawan mengangguk pelan. “Dan kita ini kadang jatuh bukan karena kekalahan, tapi karena kehilangan arah dan orientasi serta tidak tahan dengan waktu luang.”
“Benar, Pak,” lanjut Pak Rifai. “Karena kita tak lagi menyambungkan diri dengan perjuangan Nabi. Kita hidup… tapi tak lagi menyala.”
Malam itu, halaqah di gazebo ditutup dengan renungan mendalam, ‘bahwa memperingati kelahiran Nabi bukan untuk berhenti di nostalgia, tapi untuk menyalakan bara bara perjuangan. Karena beliau lahir untuk menerangi umat dari kegelapan, dan para dai hari ini adalah pelanjut cahaya itu, karena para da’i adalah pewaris nabi.
—
📌 Catatan Serambi:
“Maulid bukan sekadar memperingati kelahiran, tapi meneguhkan tekad untuk hidup bersama risalah. Karena umat tak butuh penceramah semata, tapi penerus langkah yang sabar dan tegar serta ikhlas.”
🕊 #SerambiTarbiyah | #RisalahTakBerakhir
