Teras Hikmah Episode 4 Part 1
Teras Hikmah Episode 4 Part 1

Janji Itu Bukan Sekadar Kata – Bagian 1

☕ Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 4

 

Suara kipas gantung di langit-langit ruang guru terdengar ritmis, berpadu dengan dengung dispenser yang sesekali berbunyi. Di luar, matahari bulan Dzulhijjah menyengat meski waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang. Beberapa guru ikhwan yang sedang tidak mengajar sedang duduk santai di sekitar meja panjang yang berhadapan. Ada yang menandatangani presensi pelatihan, ada yang menata tumpukan LKS, dan sebagian lagi hanya duduk sambil menyeruput teh panas dari gelas kaca.

 

Mas Ilham diutus kepala sekolah SD ke SMP karena urusan PPDB lulusan SD yang ke SMP duduk di sisi dekat dispenser ruang guru SMP. Di depannya, Ustadz Taufik sedang memeriksa tumpukan dokumen evaluasi kegiatan kelas. Sesekali beliau meletakkan pulpen, menarik napas, lalu menatap jauh ke arah jendela terbuka.

 

“Ustadz, boleh tanya?” Ilham memecah keheningan.

 

“Silakan.”

 

“Beberapa hari ini saya kepikiran terus soal legacy. Tapi tadi pagi saya baca ayat tentang mitsaqan ghalizha—janji agung para Nabi. Apakah itu berkaitan juga dengan tugas kita sebagai pembina?”

 

Ustadz Taufik menoleh. Sorot matanya berubah menjadi lebih dalam. Ia letakkan dokumen di meja, lalu duduk lebih tegak.

 

“Itu pertanyaan bagus, akh Ilham. Dan jawaban singkatnya ‘ sangat berkaitan.”

 

Pak Wawan yang duduk di sofa juga menoleh sambil senyum antusias. “Apa maksudnya, Tadz? Kami siap nyimak kalau antum mau buka kajian dadakan.”

 

Beberapa guru lain tersenyum. Mas Yusron yang baru masuk membawa map ikut duduk dan menaruh berkas di meja. “Pas banget. Tadi pagi juga saya ngaji ayat itu.”

Teras Hikmah Episode 4 Part 1
Teras Hikmah Episode 4 Part 1

Ustadz Taufik menarik nafas.

 

“Allah pernah mengambil janji dari para Nabi—bukan hanya kepada mereka, tapi juga kepada para pengikutnya. Janji itu bukan janji biasa. Bukan sekadar sumpah seremonial. Tapi ikatan iman. Janji untuk menegakkan agama, menyampaikan risalah, dan menjaga umat agar tidak menyimpang.”

 

Ia mengutip pelan, “Wa idz akhadznâ minan-nabiyyîn mîtsâqahum…” sambil membuka quran android di layar ponselnya untuk memastikan. “Dan yang menarik, Allah menyebutnya ‘perjanjian yang berat’. Karena memang menegakkan agama bukan tugas ringan.”

 

“Lalu… apa hubungannya dengan kita?” tanya Ilham, rada berbisik.

 

Ustadz Taufik tersenyum. “Hubungannya jelas, akhii. Kita ini sudah diberi amanah tarbiyah. Kita ini para murobbi. Dan pembina itu bukan sekadar fungsi teknis. Ia adalah penjaga kesinambungan dakwah. Maka saat kita menyanggupi peran itu, sadar atau tidak… kita sudah berada dalam ikatan janji yang sama—bahwa kita akan ikut menjaga, menyampaikan, dan melanjutkan risalah.”

 

Pak Wawan mengangguk dalam. “Berarti kalau kita berhenti tanpa alasan syar’i, atau mundur hanya karena jenuh… itu bentuk pelanggaran terhadap janji?”

 

Ustadz Taufik menjawab hati-hati, “Saya tak ingin menghakimi siapa pun. Tapi memang, dalam Islam, janji itu sakral. Apalagi jika janji itu kepada Allah. Rasulullah bersabda, ‘Tangan Allah berada di atas tangan mereka yang berjanji.’ Maka ketika seorang guru berkata, ‘Saya siap membina,’ sejatinya ia sedang berjanji di hadapan Allah.”

 

Ruangan hening.

 

Ilham menghela napas. “Saya pernah merasa begitu berat, Ustadz. Bahkan sempat berpikir, apa saya benar-benar mampu membina? Tapi saya juga tahu, saya pernah mengangguk waktu diminta. Dan sekarang saya sadar, anggukan itu bukan sekadar formalitas.”

 

Mas Yusron menyela, “Dan mungkin karena itulah, dakwah ini tetap berjalan, meski banyak yang jatuh di tengah jalan—karena selalu ada yang setia menepati janji.”

 

Ustadz Taufik menatap semua sahabatnya itu satu per satu.

 

“Saya ingin sampaikan satu hal: menepati janji setia kepada Allah itu bukan cuma tugas para Nabi. Tapi juga warisan yang terus dijaga oleh para dai, guru, dan murobbi hari ini. Dan karena janji ini berat, maka kita perlu saling menguatkan. Jangan biarkan satu sama lain mundur diam-diam.”

 

Pak Wawan berdiri, mengambil teh dari dispenser.

 

“Berarti kita bukan sedang ngajar biasa, ya. Tapi sedang menepati janji langit.”

 

Kata-katanya pelan, tapi masuk dalam dada.

 

Ilham hanya mengangguk. Dalam hati ia tahu, obrolan hari itu baru awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah ajakan untuk kembali menyadari… bahwa jalan ini bukan tentang nyaman atau tidak, tapi tentang setia atau lalai.

 

📌 Catatan Serambi

“Janji setia kepada Allah bukan hanya diucap di awal. Tapi ditepati di setiap langkah.”

 

🕊 #SerambiTarbiyah |

#DiolahDariBukuGumregahTarbiyah

 

to be continued…

Tinggalkan Balasan