☕Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 8, Part 2
Masih ada kantuk yang menggelayut di pelupuk mata. Bahkan bulu mata yang tidak sampai satu gram pun terasa berat untuk diangkat. Tapi satu per satu tubuh mulai terduduk, setengah terjaga, setengah merenung.
Suasana masjid masih dalam keheningan. Lampu gantung kristal yang tidak dinyalakan itu memantulkan cahaya redup dari lampu-lampu kecil pinggir dinding. Pantulan-pantulannya menyusun siluet yang tenang di lantai marmer dingin. Indah, tanpa menyilaukan. Mewah, namun tidak mengganggu kesyahduan.
Waktu menuju azan Subuh masih sekitar dua puluh menit. Di sinilah biasanya sesi kecil selepas qiyamullail dimulai. Bukan kuliah subuh, bukan halaqah, hanya semacam perenungan terbimbing. Agenda ini memang disiapkan, bukan spontan. Karena ada saat-saat dalam hidup yang harus dipaksa untuk menjadi terminal kesungguhan diri.
Ustadz Taufik mulai bicara. Suaranya pelan, nyaris seperti orang membaca puisi di balik kabut dingin. “Ikhwanii fillah, tidak semua orang bisa bangun malam. Tapi yang lebih sulit dari itu adalah menjaga arah hati setelah bangun malam. Jangan sampai qiyam kita hanya menjadi ritual, tapi tidak melahirkan kekuatan ruhani untuk melawan perubahan ke arah yang salah…”
Ilham masih setengah terpejam. Tapi ucapan ustadz Taufik tadi diam-diam menyusup.
Baca juga : Jiwa-Jiwa yang Pergi, Muru’ah yang Harus Dilanjutkan
Pak Rifa’i menambahkan, “Kalau Allah sudah ingatkan bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri… maka kita harus bertanya hari ini ‘apa yang perlu kita ubah dari diri kita‘?”
Tak ada yang menjawab. Tapi semua tampak mendengar.
Mas Yusron pun hanya mengangguk. Ia sesekali melirik lampu gantung yang tak menyala itu. Kristalnya seperti menatap balik. Diam, namun seolah mengingatkan ‘kamu belum selesai dengan urusan jiwamu’.
“Pasukan pemanah di Uhud itu bukan orang sembarangan,” lanjut Pak Rifa’i. “Mereka sahabat Nabi. Tapi hanya karena sedikit godaan dunia, mereka berubah arah. Itu pelajaran mahal. Bukan berarti kita merasa lebih baik dari beliau beliau para shahabat, kita ambil pelajaran nya, Bahkan kalau kita sudah ikut halaqah bertahun-tahun, tetap bisa jatuh kalau tidak menjaga diri.”
Ustadz Taufik menghela napas. “Karena itu ikhwan…, kita butuh pembinaan. Tidak hanya karena kita pernah lelah, tapi karena kita tahu kita mudah berubah. Kita mudah lelah. Mudah tergoda. Mudah mengabaikan perjuangan hanya karena godaan yang sedikit saja…”
Hening lagi. Tapi ini bukan hening kosong. Ini hening yang dipenuhi gema kalimat-kalimat yang mulai bekerja di kepala atau dalam dada, susah menelisiknya.
Pak Wawan kemudian bersandar ke dinding masjid, matanya memandang jam digital di tembok depan.
Baca juga : Maulid Nabi, Jalan Panjang Menuju Kemenangan
“Ada saatnya kita memang harus memaksa diri ikut agenda-agenda berat seperti ini. Mabit, rihlah, qiyamullail, murajaah, tugas dakwah… semua itu bukan sekadar program. Tapi terminal. Tempat kita mengevaluasi, dan meneguhkan arah.”
Ia melirik ke arah Ustadz Taufik yang kini menggenggam mushaf.
“Kebaikan dan kebersihan jiwa kita manusia bisa terkotori oleh perbuatan kita sendiri, inilah yang menyebabkan munculnya kelemahan bahkan penyimpangan dan kehancuran, nufusun mutaghayyirat Syaikh Said Hawa menyebutnya, sehingga kita para manusia ini harus senantiasa dibina. ”
“Kalau tidak begitu, kita akan terbawa arus. Dan tak sadar, tahu-tahu orientasi kita sudah berubah. Bukan karena murtad –naudzubillah-, tapi karena tergeser sedikit demi sedikit. Dari ukhrawi ke duniawi. Dari lillah ke li man…”
Beberapa jamaah subuh datang, Ustadz Taufik menutup sesi, “Menjaga diri sendiri di zaman ini bukan cukup dengan dzikir dan tilawah saja, tapi juga dengan berjamaah, saling mengingatkan, dan menjaga momen-momen pembinaan. Jangan menunggu saat kita benar-benar jauh baru ingin kembali.”
Azan Subuh pun berkumandang. Satu per satu berdiri, besiap sholat subuh bersama jamaah lokal.
—
📜 Catatan Serambi:
Keteguhan dalam dakwah bukan hasil dari semangat yang meluap sesekali, tapi dari konsistensi menapaki agenda-agenda berat yang kita paksa untuk dijalani. Mabit, qiyamullail, halaqah, rihlah, bukan sekadar kegiatan. Itu adalah terminal-terminal ruhani yang memperbarui arah dan menguatkan orientasi hidup kita.
Pingback: Satu Abu Ubaidah di Tengah Dunia yang Berubah - YP2SI Al Ummah
Pingback: Ketika Sembilan Lelaki Merusak Negeri - YP2SI Al Ummah