☕ Ngopi di Serambi Tarbiyah – Episode 25
Malam September itu terasa sejuk. Beberapa bendera merah putih masih berkibar di depan rumah-rumah, sisa semangat Agustusan. Bulan Hijriah sudah masuk Rabiul Awwal, bulan kelahiran Rasulullah ﷺ. Di langit ada bulan sabit tipis yang malu-malu di balik awan.
Di rumah Ust Taufik, halaqah malam itu terasa lebih hening. Rak buku di sudut ruangan banyak berjajar buku ref. tarbiyah, wawasan umum dan tafsir. Suara ketukan hujan tipis di atap menemani aroma kopi tubruk buatan istri Ustadz Taufik, mengepul dari cangkir-cangkir kecil. Para murobbi duduk melingkar, sebagian merapatkan jaketnya, ada yang menyandarkan kepala ke dinding, tanda lelah setelah sepekan bekerja.
Halaqoh belum mulai sambil nunggu, Pak Rifa’i memecah kesunyiaan . “Teman teman…saya mbaca buku Gumregah tarbiyah, ada tema ini, saya ingin kita jujur. Ada satu kalimat yang akhir-akhir ini sering saya dengar, bahkan saya sendiri pernah mengucapkannya: ‘Ini kan juga dakwah.’”
Mas Yusron faham langsung menunduk , wajahnya terasa berat. “Iya… itu kayak mantra pembenaran. Kalau nggak bisa hadir pekanan, bilang aja, ‘Ini juga dakwah.’ Kalau pas sibuk dengan kerjaan, nggak sempat liqo’, bilang lagi, ‘Ini juga dakwah.’ Lama-lama… kita percaya itu.”
Suasana yang tadi hangat jadi sunyi. Kalimat itu seperti menampar semua yang hadir. Ada yang tersenyum kecut, ada yang menatap lantai, dan ada yang menerawang jauh, karena tahu dirinya juga pernah berlindung di balik kalimat yang sama.
Ustadz Taufik muncul dari balik tirai pintu rumahnya, menimpali “Ikhwah… kalimat itu benar, tapi bisa jadi racun halus. Semua aktivitas baik adalah dakwah, iya. Tapi kalau kalimat itu membuat kita menjauh dari halaqah dan pembinaan itu berarti kita sedang menukar inti dengan kulit. Rasulullah ﷺ memulai peradaban dari halaqah kecil di rumah Al-Arqam, dari pembinaan yang konsisten, bukan dari gemerlap panggung atau acara besar.”
Pak Wawan meraih catatan kecilnya. “Kita sibuk dengan kerjaan sekolah, organisasi, sosial kemasyarakatan, yang semuanya baik. Tapi kalau semua itu jadi alasan untuk tidak hadir pekanan, tidak membina, dakwah kita kehilangan ruh. Kita akan terlihat aktif, tapi kosong di dalam.”
Baca Juga : Jangan Sampai Kita Jadi Lebih Buruk dari Mereka yang Menolak
Ilham mengangguk pelan dan tersipu. “Kadang saya merasa capek, lalu berpikir, mungkin aktivitas lain sudah cukup mengganti halaqah dan membina. Ternyata… itu cara halus saya untuk lari.”
Ustadz Taufik menatap satu per satu wajah di hadapannya. “Lari dari halaqah berarti lari dari rahim dakwah. Kita tidak akan pernah melahirkan rahilah, kader – kader pemikul beban, kalau forum inti seperti ini kita abaikan. Dan bahayanya, kita sibuk di luar, tapi perlahan tidak ada penerus di dalam.”
Pak Rifa’i menatap kosong ke luar pintu, melihat bendera yang basah. “Kalimat ‘ini juga dakwah’ ternyata jadi tameng untuk malas, ya. Kita berlindung di baliknya, padahal mungkin hati kita sudah kehilangan semangat tarbiyah.”
Mas Yusron menghela napas panjang. “Saya merasa tersindir, Ustadz. Karena kalimat itu sering saya pakai untuk membenarkan diri. Saya kira saya sibuk dakwah, tapi ternyata… saya mulai menjauh dari sumber ruhiyah ini.”
Ustadz Taufik mengangguk. “Ikhwah, bulan Rabiul Awwal ini mengingatkan kita pada perjuangan Rasulullah ﷺ. Kalau beliau memulai dari forum kecil dengan kesungguhan luar biasa, kenapa kita malah menganggapnya remeh? Kalau kita terus berlindung di balik ‘ini juga dakwah’, kita sedang mematikan inti pergerakan. Kita harus kembali menjadikan halaqah sebagai jantung perjuangan.”
Semua terdiam cukup lama… Kemudian ilham berkata “yuk kita mulai halaqoh, siapa MCnya, siapa yang tasmi’?
📜 Catatan Serambi:
Kalimat “Ini juga dakwah” bisa menjadi semangat, tapi juga bisa jadi tameng kemalasan. Kita bisa merasa sibuk berdakwah, padahal menjauh dari inti dakwah itu sendiri: pembinaan. Jangan biarkan kesibukan menipu. Kembali ke halaqah, kembali ke ruhiyah, kembali ke inti perjuangan.
#HalaqahJantungPergerakan
#RahilahPemikulAmanah
#KembaliKeSumberRuhiyah
#NgopiDiSerambiTarbiyah